Senin, 24 Mei 2010

Sekolah Inklusi


Mungkinkah Sekolah Inklusi diterapkan?

Berbagai macam penerimaan orang tua terhadap anak mereka yang lahir berbeda dengan anak normal. Ada yang menerima apa adanya dengan merawatnya, walau-pun anak mereka memiliki kekurangan yang sering menyulitkan mereka. Ada yang menitipkannya ke panti asuhan, karena tidak sanggup merawatnya. Bahkan ada juga yang tega membuang dan menelantarkan darah daging mereka sendiri ,karena tak sanggup menanggung malu mendapati anak mereka “berbeda”.
Sekolah Inklusi adalah salah satu jalan pemecahan untuk anak anak berkebutuhan khusus(ABK), atau anak yang berbeda dengan anak normal. Di sekolah ini ABK di usahakan agar tidak merasa berbeda atau merasa rendah diri , karena merasa fisik atau mental mereka berbeda dengan anak normal. Belajar satu kelas dengan anak normal diharapkan memacu perkembangan mental ABK.
Sekolah Inklusi merupakan sebuah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat. Dimana kegiatan belajar mengajar ABK di satukan dengan anak normal di satu kelas. Tempat belajar atau sekolah di lakukan di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum berbeda bagi ABK dan anak normal. Biasanya perbandingan ABK dan anak normal dalam satu kelas satu banding sepuluh, atau satu kelas di tempatkan dua sampai empat ABK. Dan satu ABK di dampingi satu pendamping khusus.
Kehadiran Sekolah Inklusi ini merupakan upaya menghapus batas yang selama ini mucul di tengah masyarakat. Menghapus batas anak cacat atau ABK dengan anak normal . Upaya ini tidak hanya berlaku bagi ABK tapi bagi anak normal juga. Selain memacu kepercayaan diri dan motivasi ABK, dengan adanya sistem ini mengajarkan nilai toleransi, dan menghargai pada anak normal. Bahwa ABK dan anak normal adalah sejajar.
Dalam Sekolah Inklusi ini cara pandang dan berfikir kita harus berubah! Kita jangan berfikir anak cacat itu adalah anak yang terbelakang . Maka kita harus memperlakukan mereka sebagai anak berkebutuhan khusus(ABK). Filosofi dan paradigma ini walau sulit namun harus dipahami dan di hayati dengan benar.
Penanaman nilai-nilai dan paradigma tersebut sangat penting. Bukan hanya harus diwujudkan di Sekolah Inklusi, namun di kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut sangatlah penting, mengingat besarnya potensi perbedaan terhadap konflik. Tidak jarang ABK di olok olok karena memiliki fisik yang berbeda dengan anak normal. Atau ABK yang dikucilkan oleh mayarakat.
Penerapan Sekolah Inklusi sangat bagus. Namun bukan berarti mudah diterapkan. Masalah biaya yang tinggi, kemiskinan , hambatan cultural, sampai tenaga pendukung terlaksananya Sekolah Inklusi. Hal hal tersebut yang menyulitkan kesuksesan penerapan Sekolah Inklusi.
Perlu peralatan pendidikan yang memadai dan gedung sekolah yang disesuaikan dengan ABK. Misalnya, bagi tuna daksa , bagunan sekolah yang gedungnya bertingkat dan bertangga harus disesuaikan dengan kursi rodanya. Atau penyediaan buku buku braile, soal-soal ulangan atau lembar ulangan braile untuk ABK Tuna Netra.
Nampaknya untuk mengakomodir itu semua diperlukan biaya yang banyak. Tidak aneh bila Sekolah Inklusi menarik harga yang tinggi . Padahal penanganan ABK sudah diatur dalam UUD 45, UU No.29 Tahun 2003, UU No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, PP No.72 Tahun 1991 tentang PLB dan SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/ 2003 tanggal 20 Januari 2003. Jadi seharusnya pemerintah yang mengakomodir itu semua.
Staf pengajar dan pendampingnya-pun harus dididik sedemikian rupa bukan hanya pengetahuannya saja, namun kesabarannya. Karena dalam hal ini, kesabaran menjadi faktor penting untuk mendampingi ABK. Lalu harus ada tenaga ahli yang mengawasi ABK.
Peran tenanga ahli tidak lepas dalam penyelenggarakan Sekolah Inklusi. Mereka harus memantau dan mengawasi ABK. Karena tanpa pengawasan dan penanganan yang khusus, akan terjadi masalah yang fatal.
Salah satu kasus pada ABK penyandang Cerebral Palsy(jenis tuna daksa). Untuk mengawasi anak ini, diperlukan Dokter Syaraf, Orthopedic, dan Psikolog. Sebab ABK ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga kondisi yang prima. Penanganan yang tepat terhadap ABK akan membuat mereka bisa berlajar dengan leluasa.
Tentang masalah tenaga ahli ini, Dinas Pendidikan atau pihak sekolah harus menjalin kerjasama dengan pihak puskesmas atau rumah sakit. Pemerintah seharusnya bisa menjadi jalan terjadinya kerjasama ini. Agar dinas pendidikan bisa berkonsultasi tentang bagaimana penerapan yang jitu, dalam membuat kurikulum yang sesuai dengan masing masing ABK.
Penyesuaian Kurikulum sendiri, berperan besar dalam penyelenggaraan Sekolah Inklusi. Mengingat masih banyaknya sekolah yang mencap dirinya sebagai Sekolah Inklusi tapi masih menyamaratakan kurikulum anak normal dengan ABK.
Beberapa kasus muncul , dimana ABK tidak naik kelas atau tidak lulus ujian karena tidak bisa mengikuti pelajaran yang diberikan gurunya.Tingkat kesulitan pelajaran atau soal ujian yang diberikan pada ABK sama dengan anak normal.
Masalah lain yang menjegal adalah hambatan kultural. Masih banyak orang tua yang mengganggap ABK tidak usah disekolahkan saja. Atau mereka malu menyekolahkan ABK-nya di Sekolah Inklusi karena takut menjadi bahan gunjingan. Mereka malu menunjukan anaknya pada dunia, karena mereka berbeda. Atau takut anak mereka tidak bisa beradaptasi dengan anak anak normal lain.
Persoalan yang krusial adalah masalah kemiskinan. Banyak ABK yang berasal dari keluarga tidak mampu. Anak terlahir cacat karena kemiskinan. Tentu saja pada saat kehamilan, si calon bayi tidak mendapat asupan gizi yang cukup. Sehingga pada akhirnya bayi mereka akan cacat . dengan analogi tersebut kita bisa menyimpulkan kemiskinan dekat dengan Kecacatan!
Semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin banyak juga jumlah orang cacat. Orang tua ABK yang tidak mampu, lebih baik mengawasi mereka dirumah dari pada menyekolahkan mereka. Lebih baik uang mereka disimpan untuk makan dari pada menyekolahkan mereka . Apalagi menghadapi kenyataan Sekolah Inklusi dan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang biayanya cukup mahal. Menurut data 2005, dari dua juta ABK, baru 800 ribu anak yang disekolahkan secara khusus.
Walaupun nampaknya penyelenggaraan Sekolah Inklusi terkesan sangat sulit dan berbiaya mahal, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk di laksanakan. Saat ini sudah mulai bermunculan Sekolah Inklusi di Bandung. Walau mungkin belum memenuhi standar Sekolah Inklusi.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, nilai dan paradigma dari Sekolah Inklusi sangat luhur. Sangat baik di wujudkan di keseharian bermasyrakat. Bagi yang normal, harus menerima keberadaan saudara kita yang memiliki kebutuhan khusus. Tidak menjauhi mereka, mengolok olok mereka. Tapi merangkul mereka. Nilai tersebutlah yang harus dipupuk di masa sekolah.
Bagi ABK, hal itu merupakan penghargaan bagi mereka. Mereka mendapatkan kepercaya-dirian mereka, dan merasa diterima ditengah masyarakat normal. Sehingga tak ada lagi kata cacat dan normal. Yang ada mereka sejajar. Sama seperti Tuhan melihat kita.
Dengan adanya Sekolah Inklusi mengajarkan bukan hanya pada siswanya tapi pada seluruh sekolah bahkan orang tua murid untuk menghilangkan diskriminasi. Memberikan kesan bagi orang tua dan masyarakat bahwa ABK--pun mampu belajar dan melakukan hal yang sama dengan anak normal. Lalu aktifitas yang bisa diikuti ABK, memungkinnya member partisipasi untuk aktifitas tersebut.
Hal itu memungkinkan ABK mendapatkan prestasi dan penghargaan yang sama di mata masyarakat. Lingkungan seperti Sekolah Inklusi membuat persaingan sehat antara ABK dan anak normal lain, sehingga memacu prestasi ABK dan anak normal.
Sayangnya sampai saat ini keberadaan Sekolah Inklusi tidak diketahui banyak masyarakat. Hanya sedikit orang yang mengetahui eksistensi Sekolah Inklusi. Yang mereka tahu hanya SLB untuk ABK. Mereka sangat asing mendengar kata Sekolah Inklusi.
Sosialisasi Sekolah Inklusi nampaknya masih sporadis. Belum adanya Sekolah Inklusi yang dapat memenuhi standar, mungkin membuat Dinas Pendidikan masih ragu mensosialisasikannya ke masyarakat luas. Sehingga masyarakat awam tidak mengenal program pengajaran siswa ABK di Sekolah Inklusi
Namun begitu pada hakikatnya penyelenggaraan Sekolah Inklusi harus mendapat dukungan dari Pemerintah sebagai stakeholder, kita sebagai masyarakat, dan staf pengajar sebagai penyelenggara pendidikan. Karena dengan adanya Sekolah Inklusi , memberikan kesempatan yang sama pada peserta didik dalam mengikuti pendidikan dan sistem persekolahan reguler dengan kebutuhan berbeda pada masing masing individunya. Tanpa membedakan status sosial , latar belakang agama, maupun suku. Namun mengharap anak yang berkualitas , sekali-pun mereka berbeda dengan anak normal.